A Analisis Terhadap Pembuatan Faktur Pajak Pertambahan Nilai Berdasar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Hukum Pajak
Abstract
Sistem yang dianut dalam perpajakan Indonesia adalah sistem self assesment. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai aturan pembuatan faktur pajak antara Undang Undang Nomor 8 Tahun 183 dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015. Pajak merupakan pendapatan utama bagi negara Indonesia, salah satu bentuk pemungutan pajak yaitu melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan dokumen yang digunakan dalam pemungutan PPN adalah faktur pajak. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir pemungutan melalui faktur pajak tidak terserap secara maksimal, dimana Negara mengalami kerugian hampir 1,13 triliun pada akhir 2012 yang diakibatkan penyalahgunaan faktur pajak fiktif. Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan faktur pajak fiktif yang merugikan Negara maka Direktorat Jenderal Pajak meningkatkan sistem administrasi yang digunakan dalam pemungutan faktur pajak, dan tertuang dalam kebijakan PER-24/PJ/2012. Dalam PER-24/PJ/2012 perubahan yang paling signifikan mengenai perubahan nomor seri faktur pajak yang tidak dilakukan sendiri oleh PKP melainkan diisi oleh Direktorat Jenderal pajak sesuai dengan tata cara dan ketentuan yang sudah diatur dalam PER-24/PJ/2012. Kebijakan baru ini tentunya bertujuan agar penerimaan kas Negara yang di dapat dari faktur pajak bisa terserap secara maksimal, tetapi tentuya perlu kerjasama antara PKP, Direktorat Jenderal Pajak dan Lembaga Penegak Hukum. Setiap kebijakan tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan dalam penerapanya, kelebihan yang paling utama penerapan kebijakan ini yaitu meminimalkan penyalahgunaan faktur pajak fiktif, sedangkan kekurangan dalam kebijakan ini waktu yang dibutuhkan . PKP lebih banyak dan menjadi tidak efisien karena harus bolak-balik ke Kantor Pelayanan Pajak. Jika faktur pajak dibuat melewati jangka waktu 3 bulan sejak saat seharusnya faktur pajak dibuat, maka Se-26/Pj/2015, faktur pajak dianggap tidak diterbitkan. Bagi pembelinya, faktur pajak ini tidak bisa dikreditkan. Timbul pertanyaan, dengan dianggap tidak diterbitkan dan menerbitkan tidak tepat waktu, apakah bisa terhadap PKP seperti ini dikenakan dua kali sanksi Pasal 14 ayat (4) KUP yaitu 2 kali 2% dari DPP.